mouse

Rabu, 10 Juli 2013

JELAJAH SALURAN AIR (AQUADUCT)/ PLENGKUNG DAN ZIARAH MAKAN VAN DER STEUR

Minggu (30/06/2013) ada 1 pesan singkat masuk ke ponsel saya. Pesan itu berasal dari Mas Bagus Priyana, aktivis Komunitas Kota Toea Magelang, yang mengabarkan bahwa komunitas pecinta bangunan heritage di Kota Magelang itu akan mengadakan event DJELADJAH PLENGKOENG pada Minggu (07/07/2013) dengan rute Pucangsari-Jagoan sejauh 5 km. Rute itu ditempuh ala trekking alias jalan kaki menelusuri saluran air di tanggul kota. Tanpa banyak pertimbangan saya langsung saja mengiyakan untuk ikut serta bergabung dalam event tersebut. Kebetulan pada waktu dimaksud belum ada agenda lain dalam catatan saya.

Pada waktu yang telah ditetapkan, peserta berkumpul di depan Stasiun Radio Polaris FM, Kedungsari. Dari belakang Polaris ini titik start perjalanan kami. Di perpotongan saluran Manggis ini kami mulai menyusur saluran air (aquaduct) yang mengarah ke tanggul kota. Begitu menjamah area tanggul, secara pribadi saya merasa sangat kagum dan acung jempol salut pada pemerintah kolonial Belanda yang telah menghasilkan konstruksi bangunan sedemikian mempesona. Bayangkan, pada masa 1800an sekian (mungkin juga 1900an) pemerintah kolonial telah membuat kanal di tengah kota, notabene letaknya lebih tinggi dari jalan utama.

Di sekitar Menowo, Kedungsari, sebelum masuk (dulunya stasiun) Kebonpolo, ada terdapat menara sirine yang sayangnya sudah tidak berfungsi. Mas Bagus Priyana sebagai tour leader menjelaskan bahwa sirine tersebut pada masa pemerintah Belanda digunakan sebagai alarm tanda bahaya bila terjadi bencana, sedangkan setelah pengambil alihan Jepang sirine digunakan sebagai penanda jam malam. Di setiap 50 meter kami juga menemukan tanda serupa kotak persegi panjang tertanam di beton saluran dengan huruf HM serta angka-angka di sebelah kanan, kiri dan tengah. Angka yang di tengah mayoritas kami sepakat bahwa itu angka penanda jarak per 50 meter, sementara ada sedikit diskusi dan beda pengartian tentang angka di sisi kanan dan kiri. Saya sendiri membacanya sebagai ukuran tinggi tanggul dihitung dari permukaan tanah jalan. Di sebelah kiri tingginya sekian, sebelah kanan sekian. Tapi ini pun belum valid.



Di depan Kodim 0705 kami sampai plengkung pertama (plengkung baru). Ada tertera angka 1920. Entah itu tahun pembangunan atau tahun renovasi, kami belum memiliki data akurat. Plengkung tersebut, menurut Mas Bagus, dibangun membedah bagian bawah tanggul untuk membuka akses jalan antara pemukiman penduduk di sebelah barat (kampung Potrobangsan sekarang) dengan kawasan militer di sebelah timur (RINDAM sekarang).

Sedikit bergeser ke selatan, kami sampai di plengkung lama (Jl. Pierre Tendean). Plengkung ini lebih tua dibanding plengkung Kodim. Bangunan yang ada sudah merupakan hasil renovasi Pemerintah Kota Magelang, walau tidak menghilangkan bentuk aslinya.

Penelusuran terus berlanjut ke selatan. Di daerah Poncol ada kami temukan menara sirine ke-2. kondisinya lebih parah dibanding sirine yang di Menowo karena ada besi penyangga yang telah berkarat dan dalam keadaan hampir terpenggal (entah alami, entah digergaji). Dikhawatirkan menara ini rawan roboh.

Di sepanjang saluran dari belakang museum Bumiputera menuju arah aloon-aloon kota kami temui banyak besi pemutar tutup selokan cabang yang digergaji. Juga sampah-sampah banyak menumpuk di saluran. Pemandangan paling miris adalah: sebelum sampai kawasan Gedung Wanita, kami lihat seorang nenek mencuci baju (mungkin juga mandi) menggunakan air kotor dari saluran tersebut. Si nenek tinggal sendiri di gubuk emplek-emplek dari tumpukan kardus dan plastik/ terpal yang menempel di tembok salah satu bangunan. Saya sempat terheran, kok ya masih ada kondisi serupa demikian di Kota Magelang yang sedang giat membangun ini.

Penelusuran berlanjut masuk ke kampung Semplon, Kemirirejo. Dari titik ini sampai ke titik akhir saluran sudah tidak dialiri air karena jalur air dialihkan dari Kauman ke arah barat (Kejuron). Dengan demikian saluran yang melintasi tengah kota hanya berupa genangan air dengan sedimentasi lumpur yang sudah tinggi dan dipenuhi sampah rumah tangga. Di plengkung tengkon salah seorang peserta yakni pak Widoyoko yang adalah juga PNS Dinas Kebersihan Pertamanan dan Tata Kota Magelang memberi penjelasan bahwa saluran air ini berada di bawah tanggung jawab pihak pemerintah propinsi sehingga pemerintah kota tidak mampu berbuat banyak dalam mengurusnya. Pengerukan dengan alat berat (backhoe) berisiko merusak konstruksi bangunan, di samping medannya juga sulit, sementara pengerukan dengan program padat karya akan memakan biaya yang sangat besar.

Plengkung tengkon ini (Jalan Daha) aslinya hanya 1 plengkung, namun oleh Pemerintah Kota sekitar tahun 1970 atau 1980an dijebol dan dibuatkan 2 plengkung tambahan di kanan dan kiri plengkung utama sebagai akses untuk jalur kendaraan non mesin. Untuk melewati sisi atas plengkung ini, kami harus meniti sisi kanal yang lebarnya sekitar 30 cm. Cukup menegangkan juga untuk peserta yang fobia ketinggian ketika menatap ke arah jalan di bawah yang jaraknya sekitar 10-12 m. Tidak terasa tangan saya berkeringat dingin waktu melaluinya.


Di ujung saluran Kemirirejo, menara sirine ke-3 yang masih berdiri kokoh menyambut dengan gagah. Tidak terasa perjalanan menelusuri plengkung dan aquaduct kota hampir berakhir.

Setelah break makan siang di warung makan Voor De Tidar (jalan Gatot Subroto), warung makan dengan suasana tempo dulu, dilengkapi foto-foto repro yang menggambarkan Magelang masa kolonial tergantung di dinding kanan-kiri bangunan, kami melanjutkan perjalanan menuju kompleks makam Van Der Steur di kawasan jalan Ikhlas, Magersari. Johanes van Der Steur dikenal sebagai pemilik panti asuhan anak-anak indo pada masa kolonial. Pada masanya, panti Van Der Steur menampung ratusan anak yatim piatu.



Di kompleks makam van Der Steur kami disambut salah satu ahli waris pengurus makam. Beliau menerangkan dengan antusias tentang makam siapa saja yang ada di kompleks tersebut: makam Papa Johanes van Der Steur serta beberapa makam anak-anak asuh van Der Steur. Di makam Papa van Der Steur itu tertera pesannya dalam Bahasa Belanda NIET MIJN NAAM DOCH MYN WERK ZYGEDACHT yang jika dialihkan dalam Bahasa Indonesia menjadi: JANGAN MENGINGAT NAMA SAYA, TAPI INGATLAH PEKERJAAN YANG TELAH SAYA LAKUKAN.




Tentang tanggul kota dan van Der Steur ini saya teringat salah satu bagian dalam buku Burung-Burung Manyar karya Romo YB Mangunwijaya. Di bagian I dengan sub judul 1934-1944 sub bagian 1 Anak Kolong, Romo Mangun menulis sebagai berikut: 

Pernah dalam satu gejolak sentimentil aku bersusah payah membuat cincin kenari untuk kuhadiahkan kepada Dora, seorang gadis Ambon yang manis seribu satu malam dari Hollands Ambonse School 1), dua tahun lebih tinggi kelasnya dariku, yang dalam hati sangat kupuja, karena mengingatkan aku (ngawur tentu saja) kepada puteri Saharazad dari doneng Seribu Satu Malam. Kutitipkan cincin tadi melalui seorang “kurir” khusus dari HJS 2), kawan anak kolong, komplit disertai semacam surat cinta. Keesokan harinya kudengar, bahwa di kanal, itu lho tanggul selokan yang mengalir 5-7 meter di atas permukaan jalan raya dan yang membagi Magelang menjadi dua belahan pisang goreng, terjadi keroyokan hebat antara kami anak-anak kolong dengan anak-anak Pandestiran, yakni anak-anak piatu kaum Indo yang diasramakan oleh seorang Belanda berewok seperti Karl Marx, bernama Pa van der Steur, sampai polisi datang karena banyak peluru batu memecahkan genting-genting rumah penduduk. Usut punya usut, ternyata kurir yang kusuruh menghaturkan cincin kenari kepada Sang Dewi itu dipukuli oleh pemuja lain berasal dari Pandestiran, sehingga geng Anak Kolong langsung (tanpa sepengetahuanku) terpaksa membalas penghinaan tadi.

1)      Sekolah dasar untuk anak Ambon, berbahasa pengantar Belanda

2)      Hollands Javaanse School: Sekolah Dasar untuk anak Jawa, berbahasa pengantar Belanda




1 komentar:

  1. asslamualaikum..

    saya muzani dari ITS surabaya
    saya boleh minta data parisawata yang ada di kota magelang, baik alam maupun budaya, data digunakan untuk tugas pembuatan peta pariwisata dengan SIG..
    bisa di kirim ke muzanialishodiqin@gmail.com

    terima kasih

    BalasHapus