mouse

Rabu, 10 Juli 2013

MAS WIRYO


Malam itu kutemui Mas Wiryo di kemahnya. Ia bersila terpekur membelakangi pintu tenda. Terpejam ia, sampai beberapa saat baru sadar aku ada di belakangnya. Mas Wir tersenyum menyambutku, mempersilahkanku duduk bersila menemaninya. Ya, hanya itu yang bisa kulakukan. Menemani dan mendengarkan semua keluh kesahnya. Aku tidak seperti Ki Alibasah yang mahir mengatur siasat perang, tidak pula memiliki pengetahuan agama setinggi Kyai Ngisa. Bahkan Banteng Wareng yang sama-sama pendherek sepertiku memiliki tubuh kuat dan mahir olah pencak. Sedang aku, Joyosuroto tua ini, hanya bisa menemani dan menyediakan telinga.

Tapi malam ini Mas Wir lebih banyak diam. Ia seperti sedang menimbang keputusan mana yang akan ia ambil pada pertemuan besok pagi. Pertemuan dengan buto terong rambut jagung yang sekian lama menjadi musuh kami dalam perang. Mas Wir tidak banyak menyampaikan maksud hatinya. Akupun lebih memilih diam.

***
Terbayang di ingatan tua ini, pada malam sebelumnya Mas Wir mengajakku ziarah ke makam Syekh Subakir di puncak Gunung Tidar. Mumpung ada di Magelang, katanya. Dan malam itu kuiring ia menuju Gunung Tidar, gunung yang dipercaya sebagai paku tanah Jawa itu. Mas Wir menunggang Ki Gentayu, bagalku mengikut di belakangnya. Kuda hebat Ki Gentayu itu. Sosoknya kokoh, berwarna coklat gelap dengan seleret bulu putih di keempat pergelangan kakinya. Tanpa dihela ia seolah sudah paham jalan mana yang harus ditempuh untuk menuju puncak Tidar.

Sampai di puncak, telah ada beberapa orang lain yang berziarah ke makam Subakir. Aku dan Mas Wir segera bergabung dengan peziarah-peziarah setempat itu untuk bertafakur di sekeliling makam.

Selepasnya kami keluar menuju pendopo terbuka untuk bercengkerama dengan saudara-saudara sesama peziarah itu. Mereka tak tahu siapa Mas Wir sebenarnya. Yang mereka tahu Mas Wir dan aku hanyalah sesama peziarah yang ingin ngalap berkah di makam Tidar. Mas Wir mendengarkan semua keluh kesah saudara-saudara itu sebagai akibat perang yang terjadi. Seorang bercerita kampungnya dibakar karena dicurigai menyembunyikan mata-mata. Seorang lain berkisah sawah-ladangnya menjadi arena perang, mayat-mayat bergelimpangan tak terurus. Tanah menyerap darah, hingga dipercaya terkutuk untuk digarap. Orang lain lagi mengatakan anak laki-lakinya terseret dalam arus pusaran perang dan sampai sekarang tak diketahui kabarnya.

Perang selama lima tahun  ini telah membawa kesengsaraan untuk rakyat. Siapa menang, rakyatlah yang kalah. Perang hanya menyebabkan rakyat menderita. Itu yang ditangkap Mas Wir.

Turun dari Tidar, kami berjalan ke arah timur. Mas Wir ingin mengunjungi Ki Pati, sahabat lamanya.

Setelah singgah sebentar di rumah Ki Pati, kami pulang ke Meteseh. Perjalanan pulang ke perkemahan kami di pinggir Kali Progo itu menjadi perjalanan yang sunyi. Mas Wir banyak diam. Akupun diam.

Sampai di kemahnya, Mas Wir tampak gelisah. Duduknya tidak tenang. Ah, andai Nyi Retnoningsih ada di sini, tak bakal Mas Wir segelisah itu. Tapi sayang, wanita dan anak-anak tidak dibawa dalam rombongan ini. Mereka kami tinggalkan di Selarong. Hanya orang-orang dekat dan sepasukan bregada pengawal yang berangkat ke Magelang. Berkali-kali Mas Wir menegaskan, ini bukan rombongan perang.

***
Tidak seperti malam sepulang kami dari Tidar, malam ini Mas Wir tampak lebih tenang. Matanya terpejam. Tasbih terus menerus berputar di tangannya.
Kutinggalkan ia di kemahnya dalam sunyi. Tak ingin kumengganggu kekhusyukan anak embanku itu. Anak yang sejak kecil telah dipercayakan bapaknya untuk kuasuh.

***
Pagi menjelang. Rombongan bersiap berangkat menuju kediaman residen yang hanya berjarak sepeminuman teh dari tempat kami berkemah. Mas Wir berada di depan, diiringi abdi-abdi setianya, menunggang Ki Gentayu yang melangkah dengan mantap seolah ini perjalanan terakhirnya.

Di rumah residen, hanya Mas Wir dan dua orang pilihannya yang boleh masuk menemui pimpinan tertinggi buto-buto rambut jagung itu. Siapa ia, apa gelar dan pangkatnya, aku tak tahu. Kami yang tidak boleh masuk hanya dipersilahkan duduk-duduk di pendopo.

Tak berapa lama terdengar teriak marah Mas Wir dari dalam. Sontak kami berdiri, namun buto-buto rambut jagung telah mengepung kami dan menodongkan bedil-bedil mereka. Dengan bahasa jawa kasar dan terdengar aneh di telingaku, kami dipaksa menanggalkan keris yang terselit di pinggang kami. Keris yang sebenarnya bukan dimaksudkan sebagai senjata; hanya sekedar pelengkap busana semata.

Mas Wir digelandang keluar menuju kereta kuda yang dikawal pasukan jalan londo-londo. Tak sepatah kata keluar darinya, hanya tatap matanya pada kami mengisyaratkan kalau ia ikhlas. Lega lila dengan semua perlakuan itu.

Mas Wir dibawa dengan kereta kuda menuju arah Semawis. Meninggalkan kami yang tak lagi tahu mesti berbuat apa.

***
Dari cerita Ki Alibasah, baru kami ketahui bahwa Mas Wir sepakat untuk menghentikan perang. Ia tidak ingin rakyat terus menerus menderita. Ia rela diasingkan ke tanah Tondano di seberang tanah Jawa dengan syarat ia boleh membawa serta keluarganya dan abdi-abdi kinasihnya.

Sejarah boleh menulis Mas Wir kalah. Cita-citanya menjadikan Jawa bersih dari pengaruh kafir seketika musnah. Tapi bagiku, bagi rakyat, Mas Wir-lah pemenang. Ontowiryo tidak pernah menyerah. Bagiku ia tetap Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid Ratu Paneteg Panatagama Wonten Ing Tanah Jawa Sedaya.

***

NB: Gedung Karesidenan kini digunakan sebagai kantor Bakorwil II Kedu-Surakarta. Juga ada 1 ruang utk Museum Diponegoro. Salah satu koleksi: kursi dengan bekas cengkeraman jari sang pangeran. Konon kabarnya sedemikian gemasnya pada Jenderal De Kock, Diponegoro mencengkeram itu kursi sampai dekok.

JELAJAH SALURAN AIR (AQUADUCT)/ PLENGKUNG DAN ZIARAH MAKAN VAN DER STEUR

Minggu (30/06/2013) ada 1 pesan singkat masuk ke ponsel saya. Pesan itu berasal dari Mas Bagus Priyana, aktivis Komunitas Kota Toea Magelang, yang mengabarkan bahwa komunitas pecinta bangunan heritage di Kota Magelang itu akan mengadakan event DJELADJAH PLENGKOENG pada Minggu (07/07/2013) dengan rute Pucangsari-Jagoan sejauh 5 km. Rute itu ditempuh ala trekking alias jalan kaki menelusuri saluran air di tanggul kota. Tanpa banyak pertimbangan saya langsung saja mengiyakan untuk ikut serta bergabung dalam event tersebut. Kebetulan pada waktu dimaksud belum ada agenda lain dalam catatan saya.

Pada waktu yang telah ditetapkan, peserta berkumpul di depan Stasiun Radio Polaris FM, Kedungsari. Dari belakang Polaris ini titik start perjalanan kami. Di perpotongan saluran Manggis ini kami mulai menyusur saluran air (aquaduct) yang mengarah ke tanggul kota. Begitu menjamah area tanggul, secara pribadi saya merasa sangat kagum dan acung jempol salut pada pemerintah kolonial Belanda yang telah menghasilkan konstruksi bangunan sedemikian mempesona. Bayangkan, pada masa 1800an sekian (mungkin juga 1900an) pemerintah kolonial telah membuat kanal di tengah kota, notabene letaknya lebih tinggi dari jalan utama.

Di sekitar Menowo, Kedungsari, sebelum masuk (dulunya stasiun) Kebonpolo, ada terdapat menara sirine yang sayangnya sudah tidak berfungsi. Mas Bagus Priyana sebagai tour leader menjelaskan bahwa sirine tersebut pada masa pemerintah Belanda digunakan sebagai alarm tanda bahaya bila terjadi bencana, sedangkan setelah pengambil alihan Jepang sirine digunakan sebagai penanda jam malam. Di setiap 50 meter kami juga menemukan tanda serupa kotak persegi panjang tertanam di beton saluran dengan huruf HM serta angka-angka di sebelah kanan, kiri dan tengah. Angka yang di tengah mayoritas kami sepakat bahwa itu angka penanda jarak per 50 meter, sementara ada sedikit diskusi dan beda pengartian tentang angka di sisi kanan dan kiri. Saya sendiri membacanya sebagai ukuran tinggi tanggul dihitung dari permukaan tanah jalan. Di sebelah kiri tingginya sekian, sebelah kanan sekian. Tapi ini pun belum valid.



Di depan Kodim 0705 kami sampai plengkung pertama (plengkung baru). Ada tertera angka 1920. Entah itu tahun pembangunan atau tahun renovasi, kami belum memiliki data akurat. Plengkung tersebut, menurut Mas Bagus, dibangun membedah bagian bawah tanggul untuk membuka akses jalan antara pemukiman penduduk di sebelah barat (kampung Potrobangsan sekarang) dengan kawasan militer di sebelah timur (RINDAM sekarang).

Sedikit bergeser ke selatan, kami sampai di plengkung lama (Jl. Pierre Tendean). Plengkung ini lebih tua dibanding plengkung Kodim. Bangunan yang ada sudah merupakan hasil renovasi Pemerintah Kota Magelang, walau tidak menghilangkan bentuk aslinya.

Penelusuran terus berlanjut ke selatan. Di daerah Poncol ada kami temukan menara sirine ke-2. kondisinya lebih parah dibanding sirine yang di Menowo karena ada besi penyangga yang telah berkarat dan dalam keadaan hampir terpenggal (entah alami, entah digergaji). Dikhawatirkan menara ini rawan roboh.

Di sepanjang saluran dari belakang museum Bumiputera menuju arah aloon-aloon kota kami temui banyak besi pemutar tutup selokan cabang yang digergaji. Juga sampah-sampah banyak menumpuk di saluran. Pemandangan paling miris adalah: sebelum sampai kawasan Gedung Wanita, kami lihat seorang nenek mencuci baju (mungkin juga mandi) menggunakan air kotor dari saluran tersebut. Si nenek tinggal sendiri di gubuk emplek-emplek dari tumpukan kardus dan plastik/ terpal yang menempel di tembok salah satu bangunan. Saya sempat terheran, kok ya masih ada kondisi serupa demikian di Kota Magelang yang sedang giat membangun ini.

Penelusuran berlanjut masuk ke kampung Semplon, Kemirirejo. Dari titik ini sampai ke titik akhir saluran sudah tidak dialiri air karena jalur air dialihkan dari Kauman ke arah barat (Kejuron). Dengan demikian saluran yang melintasi tengah kota hanya berupa genangan air dengan sedimentasi lumpur yang sudah tinggi dan dipenuhi sampah rumah tangga. Di plengkung tengkon salah seorang peserta yakni pak Widoyoko yang adalah juga PNS Dinas Kebersihan Pertamanan dan Tata Kota Magelang memberi penjelasan bahwa saluran air ini berada di bawah tanggung jawab pihak pemerintah propinsi sehingga pemerintah kota tidak mampu berbuat banyak dalam mengurusnya. Pengerukan dengan alat berat (backhoe) berisiko merusak konstruksi bangunan, di samping medannya juga sulit, sementara pengerukan dengan program padat karya akan memakan biaya yang sangat besar.

Plengkung tengkon ini (Jalan Daha) aslinya hanya 1 plengkung, namun oleh Pemerintah Kota sekitar tahun 1970 atau 1980an dijebol dan dibuatkan 2 plengkung tambahan di kanan dan kiri plengkung utama sebagai akses untuk jalur kendaraan non mesin. Untuk melewati sisi atas plengkung ini, kami harus meniti sisi kanal yang lebarnya sekitar 30 cm. Cukup menegangkan juga untuk peserta yang fobia ketinggian ketika menatap ke arah jalan di bawah yang jaraknya sekitar 10-12 m. Tidak terasa tangan saya berkeringat dingin waktu melaluinya.


Di ujung saluran Kemirirejo, menara sirine ke-3 yang masih berdiri kokoh menyambut dengan gagah. Tidak terasa perjalanan menelusuri plengkung dan aquaduct kota hampir berakhir.

Setelah break makan siang di warung makan Voor De Tidar (jalan Gatot Subroto), warung makan dengan suasana tempo dulu, dilengkapi foto-foto repro yang menggambarkan Magelang masa kolonial tergantung di dinding kanan-kiri bangunan, kami melanjutkan perjalanan menuju kompleks makam Van Der Steur di kawasan jalan Ikhlas, Magersari. Johanes van Der Steur dikenal sebagai pemilik panti asuhan anak-anak indo pada masa kolonial. Pada masanya, panti Van Der Steur menampung ratusan anak yatim piatu.



Di kompleks makam van Der Steur kami disambut salah satu ahli waris pengurus makam. Beliau menerangkan dengan antusias tentang makam siapa saja yang ada di kompleks tersebut: makam Papa Johanes van Der Steur serta beberapa makam anak-anak asuh van Der Steur. Di makam Papa van Der Steur itu tertera pesannya dalam Bahasa Belanda NIET MIJN NAAM DOCH MYN WERK ZYGEDACHT yang jika dialihkan dalam Bahasa Indonesia menjadi: JANGAN MENGINGAT NAMA SAYA, TAPI INGATLAH PEKERJAAN YANG TELAH SAYA LAKUKAN.




Tentang tanggul kota dan van Der Steur ini saya teringat salah satu bagian dalam buku Burung-Burung Manyar karya Romo YB Mangunwijaya. Di bagian I dengan sub judul 1934-1944 sub bagian 1 Anak Kolong, Romo Mangun menulis sebagai berikut: 

Pernah dalam satu gejolak sentimentil aku bersusah payah membuat cincin kenari untuk kuhadiahkan kepada Dora, seorang gadis Ambon yang manis seribu satu malam dari Hollands Ambonse School 1), dua tahun lebih tinggi kelasnya dariku, yang dalam hati sangat kupuja, karena mengingatkan aku (ngawur tentu saja) kepada puteri Saharazad dari doneng Seribu Satu Malam. Kutitipkan cincin tadi melalui seorang “kurir” khusus dari HJS 2), kawan anak kolong, komplit disertai semacam surat cinta. Keesokan harinya kudengar, bahwa di kanal, itu lho tanggul selokan yang mengalir 5-7 meter di atas permukaan jalan raya dan yang membagi Magelang menjadi dua belahan pisang goreng, terjadi keroyokan hebat antara kami anak-anak kolong dengan anak-anak Pandestiran, yakni anak-anak piatu kaum Indo yang diasramakan oleh seorang Belanda berewok seperti Karl Marx, bernama Pa van der Steur, sampai polisi datang karena banyak peluru batu memecahkan genting-genting rumah penduduk. Usut punya usut, ternyata kurir yang kusuruh menghaturkan cincin kenari kepada Sang Dewi itu dipukuli oleh pemuja lain berasal dari Pandestiran, sehingga geng Anak Kolong langsung (tanpa sepengetahuanku) terpaksa membalas penghinaan tadi.

1)      Sekolah dasar untuk anak Ambon, berbahasa pengantar Belanda

2)      Hollands Javaanse School: Sekolah Dasar untuk anak Jawa, berbahasa pengantar Belanda