Minggu (30/06/2013) ada 1 pesan
singkat masuk ke ponsel saya. Pesan itu berasal dari Mas Bagus Priyana, aktivis
Komunitas Kota Toea Magelang, yang mengabarkan bahwa komunitas pecinta bangunan heritage di Kota Magelang itu akan mengadakan event DJELADJAH PLENGKOENG pada
Minggu (07/07/2013) dengan rute Pucangsari-Jagoan sejauh 5 km. Rute itu
ditempuh ala trekking alias jalan kaki menelusuri saluran air di tanggul kota.
Tanpa banyak pertimbangan saya langsung saja mengiyakan untuk ikut serta bergabung
dalam event tersebut. Kebetulan pada waktu dimaksud belum ada agenda lain dalam
catatan saya.
Pada waktu yang telah ditetapkan,
peserta berkumpul di depan Stasiun Radio Polaris FM, Kedungsari. Dari belakang
Polaris ini titik start perjalanan kami. Di perpotongan saluran Manggis ini
kami mulai menyusur saluran air (aquaduct) yang mengarah ke tanggul kota.
Begitu menjamah area tanggul, secara pribadi saya merasa sangat kagum dan acung
jempol salut pada pemerintah kolonial Belanda yang telah menghasilkan
konstruksi bangunan sedemikian mempesona. Bayangkan, pada masa 1800an sekian
(mungkin juga 1900an) pemerintah kolonial telah membuat kanal di tengah kota,
notabene letaknya lebih tinggi dari jalan utama.
Di sekitar Menowo, Kedungsari,
sebelum masuk (dulunya stasiun) Kebonpolo, ada terdapat menara sirine yang
sayangnya sudah tidak berfungsi. Mas Bagus Priyana sebagai tour leader
menjelaskan bahwa sirine tersebut pada masa pemerintah Belanda digunakan sebagai
alarm tanda bahaya bila terjadi bencana, sedangkan setelah pengambil alihan
Jepang sirine digunakan sebagai penanda jam malam. Di setiap 50 meter kami juga
menemukan tanda serupa kotak persegi panjang tertanam di beton saluran dengan
huruf HM serta angka-angka di sebelah kanan, kiri dan tengah. Angka yang di
tengah mayoritas kami sepakat bahwa itu angka penanda jarak per 50 meter,
sementara ada sedikit diskusi dan beda pengartian tentang angka di sisi kanan
dan kiri. Saya sendiri membacanya sebagai ukuran tinggi tanggul dihitung dari
permukaan tanah jalan. Di sebelah kiri tingginya sekian, sebelah kanan sekian.
Tapi ini pun belum valid.
Di depan Kodim 0705 kami sampai
plengkung pertama (plengkung baru). Ada tertera angka 1920. Entah itu tahun
pembangunan atau tahun renovasi, kami belum memiliki data akurat. Plengkung
tersebut, menurut Mas Bagus, dibangun membedah bagian bawah tanggul untuk
membuka akses jalan antara pemukiman penduduk di sebelah barat (kampung
Potrobangsan sekarang) dengan kawasan militer di sebelah timur (RINDAM
sekarang).
Sedikit bergeser ke selatan, kami
sampai di plengkung lama (Jl. Pierre Tendean). Plengkung ini lebih tua
dibanding plengkung Kodim. Bangunan yang ada sudah merupakan hasil renovasi
Pemerintah Kota Magelang, walau tidak menghilangkan bentuk aslinya.
Penelusuran terus berlanjut ke
selatan. Di daerah Poncol ada kami temukan menara sirine ke-2. kondisinya lebih
parah dibanding sirine yang di Menowo karena ada besi penyangga yang telah
berkarat dan dalam keadaan hampir terpenggal (entah alami, entah digergaji).
Dikhawatirkan menara ini rawan roboh.
Di sepanjang saluran dari
belakang museum Bumiputera menuju arah aloon-aloon kota kami temui banyak besi
pemutar tutup selokan cabang yang digergaji. Juga sampah-sampah banyak menumpuk
di saluran. Pemandangan paling miris adalah: sebelum sampai kawasan Gedung
Wanita, kami lihat seorang nenek mencuci baju (mungkin juga mandi) menggunakan
air kotor dari saluran tersebut. Si nenek tinggal sendiri di gubuk
emplek-emplek dari tumpukan kardus dan plastik/ terpal yang menempel di tembok
salah satu bangunan. Saya sempat terheran, kok ya masih ada kondisi serupa
demikian di Kota Magelang yang sedang giat membangun ini.
Penelusuran berlanjut masuk ke
kampung Semplon, Kemirirejo. Dari titik ini sampai ke titik akhir saluran sudah
tidak dialiri air karena jalur air dialihkan dari Kauman ke arah barat
(Kejuron). Dengan demikian saluran yang melintasi tengah kota hanya berupa
genangan air dengan sedimentasi lumpur yang sudah tinggi dan dipenuhi sampah
rumah tangga. Di plengkung tengkon salah seorang peserta yakni pak Widoyoko
yang adalah juga PNS Dinas Kebersihan Pertamanan dan Tata Kota Magelang memberi
penjelasan bahwa saluran air ini berada di bawah tanggung jawab pihak
pemerintah propinsi sehingga pemerintah kota tidak mampu berbuat banyak dalam
mengurusnya. Pengerukan dengan alat berat (backhoe) berisiko merusak konstruksi
bangunan, di samping medannya juga sulit, sementara pengerukan dengan program
padat karya akan memakan biaya yang sangat besar.
Plengkung tengkon ini (Jalan
Daha) aslinya hanya 1 plengkung, namun oleh Pemerintah Kota sekitar tahun 1970
atau 1980an dijebol dan dibuatkan 2 plengkung tambahan di kanan dan kiri
plengkung utama sebagai akses untuk jalur kendaraan non mesin. Untuk melewati
sisi atas plengkung ini, kami harus meniti sisi kanal yang lebarnya sekitar 30 cm.
Cukup menegangkan juga untuk peserta yang fobia ketinggian ketika menatap ke
arah jalan di bawah yang jaraknya sekitar 10-12 m. Tidak terasa tangan saya
berkeringat dingin waktu melaluinya.
Di ujung saluran Kemirirejo,
menara sirine ke-3 yang masih berdiri kokoh menyambut dengan gagah. Tidak
terasa perjalanan menelusuri plengkung dan aquaduct kota hampir berakhir.
Setelah break makan siang di
warung makan Voor De Tidar (jalan Gatot Subroto), warung makan dengan suasana
tempo dulu, dilengkapi foto-foto repro yang menggambarkan Magelang masa
kolonial tergantung di dinding kanan-kiri bangunan, kami melanjutkan perjalanan
menuju kompleks makam Van Der Steur di kawasan jalan Ikhlas, Magersari. Johanes
van Der Steur dikenal sebagai pemilik panti asuhan anak-anak indo pada masa
kolonial. Pada masanya, panti Van Der Steur menampung ratusan anak yatim piatu.
Di kompleks makam van Der Steur
kami disambut salah satu ahli waris pengurus makam. Beliau menerangkan dengan
antusias tentang makam siapa saja yang ada di kompleks tersebut: makam Papa
Johanes van Der Steur serta beberapa makam anak-anak asuh van Der Steur. Di
makam Papa van Der Steur itu tertera pesannya dalam Bahasa Belanda NIET MIJN
NAAM DOCH MYN WERK ZYGEDACHT yang jika dialihkan dalam Bahasa Indonesia menjadi:
JANGAN MENGINGAT NAMA SAYA, TAPI INGATLAH PEKERJAAN YANG TELAH SAYA LAKUKAN.
Tentang tanggul kota dan van Der
Steur ini saya teringat salah satu bagian dalam buku Burung-Burung Manyar karya
Romo YB Mangunwijaya. Di bagian I dengan sub judul 1934-1944 sub bagian 1 Anak
Kolong, Romo Mangun menulis sebagai berikut:
Pernah dalam satu gejolak
sentimentil aku bersusah payah membuat cincin kenari untuk kuhadiahkan kepada
Dora, seorang gadis Ambon yang manis seribu satu malam dari Hollands Ambonse
School 1), dua tahun
lebih tinggi kelasnya dariku, yang dalam hati sangat kupuja, karena
mengingatkan aku (ngawur tentu saja) kepada puteri Saharazad dari doneng Seribu
Satu Malam. Kutitipkan cincin tadi melalui seorang “kurir” khusus dari HJS 2), kawan anak kolong, komplit
disertai semacam surat cinta. Keesokan harinya kudengar, bahwa di kanal, itu
lho tanggul selokan yang mengalir 5-7 meter di atas permukaan jalan raya dan yang
membagi Magelang menjadi dua belahan pisang goreng, terjadi keroyokan hebat
antara kami anak-anak kolong dengan anak-anak Pandestiran, yakni anak-anak
piatu kaum Indo yang diasramakan oleh seorang Belanda berewok seperti Karl
Marx, bernama Pa van der Steur, sampai polisi datang karena banyak peluru batu
memecahkan genting-genting rumah penduduk. Usut punya usut, ternyata kurir yang
kusuruh menghaturkan cincin kenari kepada Sang Dewi itu dipukuli oleh pemuja
lain berasal dari Pandestiran, sehingga geng Anak Kolong langsung (tanpa
sepengetahuanku) terpaksa membalas penghinaan tadi.
1)
Sekolah dasar untuk anak Ambon, berbahasa
pengantar Belanda
2)
Hollands Javaanse School: Sekolah Dasar untuk
anak Jawa, berbahasa pengantar Belanda
asslamualaikum..
BalasHapussaya muzani dari ITS surabaya
saya boleh minta data parisawata yang ada di kota magelang, baik alam maupun budaya, data digunakan untuk tugas pembuatan peta pariwisata dengan SIG..
bisa di kirim ke muzanialishodiqin@gmail.com
terima kasih