Malam itu kutemui Mas Wiryo di kemahnya. Ia bersila terpekur membelakangi pintu tenda. Terpejam ia, sampai beberapa saat baru sadar aku ada di belakangnya. Mas Wir tersenyum menyambutku, mempersilahkanku duduk bersila menemaninya. Ya, hanya itu yang bisa kulakukan. Menemani dan mendengarkan semua keluh kesahnya. Aku tidak seperti Ki Alibasah yang mahir mengatur siasat perang, tidak pula memiliki pengetahuan agama setinggi Kyai Ngisa. Bahkan Banteng Wareng yang sama-sama pendherek sepertiku memiliki tubuh kuat dan mahir olah pencak. Sedang aku, Joyosuroto tua ini, hanya bisa menemani dan menyediakan telinga.
Tapi malam ini Mas Wir lebih banyak diam. Ia seperti sedang menimbang keputusan mana yang akan ia ambil pada pertemuan besok pagi. Pertemuan dengan buto terong rambut jagung yang sekian lama menjadi musuh kami dalam perang. Mas Wir tidak banyak menyampaikan maksud hatinya. Akupun lebih memilih diam.
***
Terbayang di ingatan tua ini, pada malam sebelumnya Mas Wir mengajakku ziarah ke makam Syekh Subakir di puncak Gunung Tidar. Mumpung ada di Magelang, katanya. Dan malam itu kuiring ia menuju Gunung Tidar, gunung yang dipercaya sebagai paku tanah Jawa itu. Mas Wir menunggang Ki Gentayu, bagalku mengikut di belakangnya. Kuda hebat Ki Gentayu itu. Sosoknya kokoh, berwarna coklat gelap dengan seleret bulu putih di keempat pergelangan kakinya. Tanpa dihela ia seolah sudah paham jalan mana yang harus ditempuh untuk menuju puncak Tidar.
Sampai di puncak, telah ada beberapa orang lain yang berziarah ke makam Subakir. Aku dan Mas Wir segera bergabung dengan peziarah-peziarah setempat itu untuk bertafakur di sekeliling makam.
Selepasnya kami keluar menuju pendopo terbuka untuk bercengkerama dengan saudara-saudara sesama peziarah itu. Mereka tak tahu siapa Mas Wir sebenarnya. Yang mereka tahu Mas Wir dan aku hanyalah sesama peziarah yang ingin ngalap berkah di makam Tidar. Mas Wir mendengarkan semua keluh kesah saudara-saudara itu sebagai akibat perang yang terjadi. Seorang bercerita kampungnya dibakar karena dicurigai menyembunyikan mata-mata. Seorang lain berkisah sawah-ladangnya menjadi arena perang, mayat-mayat bergelimpangan tak terurus. Tanah menyerap darah, hingga dipercaya terkutuk untuk digarap. Orang lain lagi mengatakan anak laki-lakinya terseret dalam arus pusaran perang dan sampai sekarang tak diketahui kabarnya.
Perang selama lima tahun ini telah membawa kesengsaraan untuk rakyat. Siapa menang, rakyatlah yang kalah. Perang hanya menyebabkan rakyat menderita. Itu yang ditangkap Mas Wir.
Turun dari Tidar, kami berjalan ke arah timur. Mas Wir ingin mengunjungi Ki Pati, sahabat lamanya.
Setelah singgah sebentar di rumah Ki Pati, kami pulang ke Meteseh. Perjalanan pulang ke perkemahan kami di pinggir Kali Progo itu menjadi perjalanan yang sunyi. Mas Wir banyak diam. Akupun diam.
Sampai di kemahnya, Mas Wir tampak gelisah. Duduknya tidak tenang. Ah, andai Nyi Retnoningsih ada di sini, tak bakal Mas Wir segelisah itu. Tapi sayang, wanita dan anak-anak tidak dibawa dalam rombongan ini. Mereka kami tinggalkan di Selarong. Hanya orang-orang dekat dan sepasukan bregada pengawal yang berangkat ke Magelang. Berkali-kali Mas Wir menegaskan, ini bukan rombongan perang.
***
Tidak seperti malam sepulang kami dari Tidar, malam ini Mas Wir tampak lebih tenang. Matanya terpejam. Tasbih terus menerus berputar di tangannya.
Kutinggalkan ia di kemahnya dalam sunyi. Tak ingin kumengganggu kekhusyukan anak embanku itu. Anak yang sejak kecil telah dipercayakan bapaknya untuk kuasuh.
***
Pagi menjelang. Rombongan bersiap berangkat menuju kediaman residen yang hanya berjarak sepeminuman teh dari tempat kami berkemah. Mas Wir berada di depan, diiringi abdi-abdi setianya, menunggang Ki Gentayu yang melangkah dengan mantap seolah ini perjalanan terakhirnya.
Di rumah residen, hanya Mas Wir dan dua orang pilihannya yang boleh masuk menemui pimpinan tertinggi buto-buto rambut jagung itu. Siapa ia, apa gelar dan pangkatnya, aku tak tahu. Kami yang tidak boleh masuk hanya dipersilahkan duduk-duduk di pendopo.
Tak berapa lama terdengar teriak marah Mas Wir dari dalam. Sontak kami berdiri, namun buto-buto rambut jagung telah mengepung kami dan menodongkan bedil-bedil mereka. Dengan bahasa jawa kasar dan terdengar aneh di telingaku, kami dipaksa menanggalkan keris yang terselit di pinggang kami. Keris yang sebenarnya bukan dimaksudkan sebagai senjata; hanya sekedar pelengkap busana semata.
Mas Wir digelandang keluar menuju kereta kuda yang dikawal pasukan jalan londo-londo. Tak sepatah kata keluar darinya, hanya tatap matanya pada kami mengisyaratkan kalau ia ikhlas. Lega lila dengan semua perlakuan itu.
Mas Wir dibawa dengan kereta kuda menuju arah Semawis. Meninggalkan kami yang tak lagi tahu mesti berbuat apa.
***
Dari cerita Ki Alibasah, baru kami ketahui bahwa Mas Wir sepakat untuk menghentikan perang. Ia tidak ingin rakyat terus menerus menderita. Ia rela diasingkan ke tanah Tondano di seberang tanah Jawa dengan syarat ia boleh membawa serta keluarganya dan abdi-abdi kinasihnya.
Sejarah boleh menulis Mas Wir kalah. Cita-citanya menjadikan Jawa bersih dari pengaruh kafir seketika musnah. Tapi bagiku, bagi rakyat, Mas Wir-lah pemenang. Ontowiryo tidak pernah menyerah. Bagiku ia tetap Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid Ratu Paneteg Panatagama Wonten Ing Tanah Jawa Sedaya.
***
NB: Gedung Karesidenan kini digunakan sebagai kantor Bakorwil II Kedu-Surakarta. Juga ada 1 ruang utk Museum Diponegoro. Salah satu koleksi: kursi dengan bekas cengkeraman jari sang pangeran. Konon kabarnya sedemikian gemasnya pada Jenderal De Kock, Diponegoro mencengkeram itu kursi sampai dekok.